Puisi Mati Suri ' Ku Nanti Kau Bersama Pagi'
Hidup lagi dah akhirnya...setelah beberapa bulan matsur. Hehehe.... (^-^)
Kasihan juga nih liat doi postingan nya gitu-gitu aja beberapa bulan, ampun...!
Tapi kali ini cuma puisi nic...

"Ku Nanti Kau Bersama pagi"


Nuansa geming
Endapkan lara di hati
Sesak sesal yang ku untai dengan tasbih
Luruh rasa membuncah sanubari

Langitmu gelap
Seakan tak pernah terang
Tingkahi jejek langkahku yang hilang
Di padang sahara

Aku letih
Menantimu datang bersama pagi
Menunggumu membawa semangat ke hati
Namun malammu enggan pergi
Menyicil hampa dan elegi
Hancurkan obsesi mimpi-mimpi
Dan segenap harapan mencintai

7 Juni 2010

Ah, cuma itu saja..., semoga aku rajin neblog aja ya...!

Label: 9 kata mereka |
Dimensi Malam

Oleh: Ansyar FPP


“Eh Pi, kenapa ya ayahmu tidak lagi ke sini?” tanya Ifit seolah tahu apa yang menjadi batang pikirku saat ini.
Fuuh...
“Entahlah Fit, aku juga nggak tau,” ucapku sambil manatap kosong ke langit. Kulihat bulan tertutup awan, bintang-bintang tidak terlalu tampak malam ini, tidak seperti malam-malam sebelumnya. Aku sering bertanya-tanya, apakah malam seperti ini sebuah portal dimensi baru yang bisa kumasuki. Aku ingin lari saja dari hidupku, mungkin kelak dimensi malam akan membawaku menghilang jauh dari dunia yang penuh duka ini.
“Sabar ya Pi, mungkin ayah kamu masih sibuk kerja.” Akbar mencoba menghiburku. Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Kalaupun Ayah sibuk kerja pastinya sesekali akan menjengukku. Lah ini, sudah tiga kali orang tua Dani datang, ayah dan ibuku tak pernah datang juga. Gread!! Tapi Allah memang maha adil. Di saat seperti ini masih saja ada dua orang sahabat yang setia menemani dan mendengarkan isi hatiku.
“Iya Pi, sabar ya...!” ucap Ifit sambil mengelus bahuku.
“Terimakasih Bar, Fit, kalian baik sekali,” ucapku menatap mereka berdua.
*****

“Panggilan kepada santri yang bernama Muhammad Alpiannoor Bin Haji Mahli, berasal dari Amuntai, agar bisa menuju ruang tunggu karena ada tamu!” Suara dari mic itu melengking menyebut namaku. Aku berlonjak kegirangan dan langsung menuju ke ruang tunggu, tempat biasanya tamu-tamu menunggu.
Kulihat cuma ada amangku di ruang tunggu. Aku kecewa. Langsung kutanyakan di mana Ayah. Katanya, Ayah tidak bisa datang karena sangat sibuk. Hmmm, mungkin aku bisa memakluminya.
Setelah menyerahkan uang untuk keperluanku, Amang berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ingin pulang. Aku mengikutinya. Tiba-tiba beliau berpaling dan kembali duduk.
“Kenapa Mang?” tanyaku keheranan.
“Amang rasa tidak ada gunanya menyembunyikan ini semua darimu.” Amang mengambil napas dan melanjutkan bicaranya. “Sebenarnya, ayahmu sudah melakukan poligami!”
“Hah...?!” jeritku tak percaya. “Benarkah itu Mang?”
“Benar...” ucap beliau mengangguk. Aku geram. Lalu Amang menceritakan semuanya, mulai dari awal cerita mengenal cewek ganjen, sampai akhirnya menikahinya. Aku yakin Ayah pasti kena pelet. Bagaimana mungkin, masa baru tiga kali bertemu Ayah sudah mengajak cewek itu nikah?
“Coba kamu ajak bicara ayahmu dari hati ke hati. Kasihan ibumu hampir stres menghadapinya. Apalagi ibumu baru saja melahirkan.” jelas Amang sabar.
Pikiranku melayang terbang ke rumah. Di dalam benakku kulihat Ibu tersimpuh meneteskan air mata sambil menggendong Lia, adik kecilku nan malang. Sepeninggal Ayah ke istri mudanya. Mama menangis, hatiku terasa retak. Sakit sekali!
*****
“Pi, kenapa sih kamu akhir-akhir ini seperti tidak semangat hidup saja, padahal kan kemarin baru datang tamu?” tanya Akbar padaku.
“Iya ni, kanapa sih?” Ifit menimpali.
“Bar, Fit, kalian mau tidak nolongin aku?”
“Nolongin apa?” ucap mereka hampir bersamaan.
“Izinkan aku ke Ustadz. Aku ingin pulang!”
“Hah?! Kenapa?”
“Ah, tidak usah banyak tanya! Mau tidak?
“Oke, oke, mana kartu izinnya?”
“Nih!” ucapku sambil menyerahkan kartu izin pada Akbar.
“Fit, ayo berangkat! haha...” Dasar Akbar, tidak tahu teman sedih masih saja ngakak.
“Oy, tunggu, aku ganti baju dulu!” teriak Ifit karena Akbar sudah pergi lebih dulu. Aku tersenyum melihat tingkah mereka itu.
*****
“Apa-apaan ini, Bu?” ucapku sambil menahan sesak di dada. Kulihat baju Ibu berhamburan. Sepertinya tadi ada pertengkaran. Rupanya begini sambutan atas kedatanganku. Ah, apa tidak ada yang lebih buruk lagi?!
“Tanya ayahmu!” jawab Ibu kesal, air matanya menetes.
Aku masih berdiri mematung. hatiku terasa dikuliti. Sakit...!
“Ah...!” teriakku membanting pintu.
Brak!!!!
Aku masuk ke kamar dan mengamuk sejadi-jadinya.
“Sialan! Ayah jahat!” teriakku sembari meninju lemari sekuat tenaga.

Nuansa Kalbu

Malam menerawang
Gelap yang mengekang

Terdengar gemuruh
Langit yang galau

Gerimis berderu
Kejora yang kelabu

kapankah kabut ini berakhir?
Hati ini menelan kehampaan
Dimanakah bunga-bunga yang menyisakan butir-butir kehidupan?



*****

Untuk Ayah, Ibu, dan semuanya.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Kusematkan do’a di setiap butiran kata surat ini, semoga dengan tak adanya aku di sisi kalian keluarga kita bisa seperti sedia kala. Amin...
Ayah dan Ibu tercinta, maafkan bila selama ini aku telah meyalahkan harta yang kalian titipkan untukku. Ampuni bila selama ini aku telah mengkhianati amanah yang kalian letakkan di pundakku karena sungguh anakmu ini tak pernah luput dari salah dan dosa.
Ayah dan Ibu tercinta, kuharap dengan matinya aku kalian bisa sadar bahwa semua yang kalian lakukan itu telah menoreh luka yang teramat dalam. Hidupku tidak ada artinya lagi. Semoga kalian bisa sadar.

Alpiannor

Aku melesat dengan motorku secepat mungkin. Mataku tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang sedari tadi terus menetes dari kedua mataku. Aku sudah tak peduli lagi akan seberapa besarnya dosa bunuh diri. Aku telah muak dengan hidupku.
Beberapa meter di depanku jurang telah menghadang. Aku mulai bimbang.
“ASTAGFIRULLAH....!!!”
Kuinjak rem sekuat tenaga. Namun sial, motorku terlalu cepat, dan aku terlambat. Tubuhku melayang. Hatiku terasa penuh dosa.
*****
“Alpi, Alpi, kau sadar Pi?!” Suara Ibu terdengar samar.
“Alpi anakku, maafkan ayah Nak!” Terdengar rintihan Ayah dalam isak tangis.
Kucoba membuka mata. Yang terlihat hanya gelap, tapi perlahan-lahan berwarna. Ayah, Ibu, Kak Lisa, Adikku Lia, selang infus, tembok berwarna putih.
Aku tersenyum. Ternyata aku belum mati. “Yah, ini permintaanku yang harus Ayah turuti, uhuk...” kata-kataku tidak selesai karena tenggorokanku terasa sangat mencekik.
Kak Lisa segera memberiku air putih. Aku pun melanjutkan ucapanku.
“Ceraikan istri muda Ayah itu!”
“Sudah Pi, Ayah sudah sadar bahwa kalian adalah harta Ayah yang paling berharga....” Tutur Ayah penuh air mata.
Bahagia langsung membelai hatiku. Aku tersenyum. Kurasakan melihat bulan yang purnama, ditemani ribuan bintang yang berkilauan. Ah, dimensi malam...[]



Kemilau Cahaya Hari

Yang kulihat dari masa depanku hanyalah sebuah musim dingin


Di sana...

Takkan lagi ada kilauan cahaya jingga sore hari yang memanja

Di sana...

Takkan ada lagi harapan dan doa yang dititipkan pad bentangan pagi

Semuanya begitu sepi....

sunyi....

sunyi....

sunyi.....

dan sunyi....

Aku tak bisa berbuat banyak

hanya berharap,

esok hari akan ada !


Aku sadar diriku

hanya sebutir buih dilautan

yang bisa lenyap kapan saja

begitu angin mengguncang ombak


Namun

Doa ini takkan kusimpan

Harapan ini takkan hilang;

Bukan hanya semusim di hari esok

Tetapi musim semi yang memekar

Menghapus segala resah!

Kemilau cahaya hari....



Label: 9 kata mereka |