Oleh : Anshor FPP
(02 – 02 – 2009)
Hari ini Nad, ingatkah kamu hari apa ini? Ini hari ulang tahunmu, Nad! Sudah kutunggu Nad. Asal kamu tahu, baru saja kita pacaran, kamu sudah buatku tergila-gila Nad, aku sungguh cinta mati. Tapi, tembok itu terus berdiri kokoh menghalangi kita, jerujinya itu tajam tak terperi. Seakan tempatmu di sana wilayah haram untuk kudatangi, seolah dunia milik mereka, seenaknya memisahkan kita, semuanya memenjara hati kita.
Lepaskan aku!
Aku ingin bebas
Terbang bersama napas
Melesat deras
Menuju cintaku….
Namun ternyata aku tak bisa lepas Nad. Peraturan mengurungku, mengharamkan aku untuk bersamamu. Aku tahu Nad, cinta kita terlarang. Aku santri, kamu santriwati. Cinta kita memang terlarang, tapi rasa ini tak bisa kutentang. Kita terperangkap Nad, di dasar laut yang dalam dan kelam, tak ada sinar matahari yang menyinari. Tapi Nad, di dasar laut yang kelam ini terdapat banyak mutiara yang indah dan mahal. Aku, kamu, sama-sama terkurung, terbatas jeruji.
Karena itu Nad, maafkan aku tak bisa menemuimu. Bukan maksudku menyakitimu. Tapi sabarlah Nad, aku janji tanggal lima nanti aku akan menemuimu. Bukankah orang sabar disayang Tuhan, Nad?
(05 – 02 – 2009)
Aku sudah di ruang tunggu Nad, aku datang menepati janji. Hari ini aku pulang bulanan Nad, siapa tahu kamu ingin pulang bersamaku. Tapi kamu dimana Nad?! Lama sudah aku menunggu, kamu tak datang juga. Aku menyerah Nad, hampir dua jam aku menunggu kamu.
Aku melangkah lemas, kecewa. Tiba-tiba ada seseorang memanggilku, aku jadi cerah, kamukan itu, Nad?! O ow…! Itu… bukan kamu, Nad! Aku makin bersedih. Ditambah lagi dia bilang kamu sudah pulang ke rumah, oh kecewaku makin berlipat. Tapi ternyata kekecewaanku itu belum cukup. Dia bilang, kamu sakit parah. Aku langsung pucat Nad, aku khawatir, aku takut. Khawatir, akan kondisimu. Takut, kehilanganmu.
Aku minta diri, berlari mencari taksi. Ketika taksi itu berhenti, aku langsung meloncat sampai kedua kakiku nyeri, saking khawatirnya aku padamu Nad .
Jarak Landasan Ulin - Mataraman terasa sangat jauh. Semenit terasa seminggu .Hatiku sangat gelisah Nad, ada firasat buruk menyerang hatiku. Semoga saja firasat itu takkan terjadi.
Taksi yang kutumpangi memasuki pintu gerbang gang rumahku. Tapi ada yang aneh, bendera hijau tanda duka cita berkibar di gerbang itu.Hatiku berkecamuk. Aku menyimpan sejuta tanya.
Taksi terus melaju tenang, setiap putaran rodanya kurasakan seperti aliran darahku yang mengalir deras, membuat hatiku berdebar hebat.
Taksi berhenti seiring dengan berhentinya aliran darahku. Aku lihat puluhan orang ada di rumahmu Nad. Tapi siapa yang meninggal?! Kakekmu?! Pasti bukan Nad. Adikmu?! Ah, tak mungkin. Ayahmu ?! Walah, apaa lagi. Kamu Nad?! Gak mungkin
Aku bingung. Hatiku kian gelisah. Maka aku langsung turun dan berlari memasuki rumahmu, menghambur, berteriak, bertanya, siapa yang terbujur kaku itu.
Suasana hening seketika. Orang-orang lekat memandangiku. Tapi nggak apa Nad, aku sudah terbiasa dibuat malu. Kain penutup disingkap dari tubuh yang terbujur kaku itu. Ah… ! Siapa itu?! I…i…i… itu kamu Nad!
Aku terhempas. Seketika hatiku pecah berkeping-keping. Air mata banjir membasahi pipiku. Potongan mozaik hidupku bersamamu kembali terhempas di otakku, membuatku hampir tak sadarkan diri. Dunia berpuar kencang. Aku terduduk membisu, lemah.
Keranda diangkat, digiring dengan Tahlil. Aku sendiri yang mengangkat kerendamu Nad. Ini saat terakhirku untuk bisa bersamamu. Bisakah aku merelakanmu sayang?!
Perlahan tubuhmu diturunkan. Alam kubur di depan matamu, Nad. Jangan takut, aku percaya kamu syahid, tak ada balasan yang lebih layak bagi orang yang syahid selain surga. Bukankah begitu, Nad?! Iyakan?!
Gemetar aku menahan perihnya hati, melihat kamu ditimbun tanah. Maaf Nad, aku tak mampu menimbunmu, aku terlalu mencintaimu.
Perlahan orang-orang meninggalkanmu. Aku akan tetap disini, aku tak mampu melepasmu, apalagi harus melupakanmu, sedikit pun aku tak mampu.
Tiba-tiba Ayah dan Ibumu mendekatiku dan memberikan buku bersampul biru langit. Aku bingung.
“Sar, ini buku harian Nadia. Paman mohon, jaga buku ini dengan hatimu!” ungkap Ayahmu.
Aku mengangguk pelan. Kulihat Ayah dan Ibumu masih sedih mengharu biru. Mereka pun pergi dan hanya aku sendiri disini menemani.
Kubuka lembaran pertama dari buku itu. Aku menemukan keping-keping hatimu, potongan mozaik hidupmu yang menyayat hatiku. Kenapa kamu tak jujur padaku tentang kangker payudara yang merenggut kebahagiaanmu?! Kenapa, Nad?! Kenapa?! Ah…!
Tak mungkin menyalahkan waktu, tak mungkin menyalahkan keadaan, kau pergi tak mungkin kembali lagi. Aku yang salah Nad. Aku! Aku tak sepenuh hati menjagamu. Maafkan aku, Nad! Kali ini air mataku tak tertahan, keperihan hatiku sudah tak bisa kusimpan.
Nad, keadaanku telah jelas kaulihat, tak ada satu rahasia pun yang tersembunyi. Di hadapan orang banyak pun, derita cintaku tak berkurang. Bagaimana kamu ingkari Nad, sebuah cinta yang disaksikan cucuran air mata di depanmu, dan sakitnya hati yang tengah kehilangan. Nad, kalau bukan karena dalamnya cintaku, tak pernah ada air mata yang membasahi bumi, dan cucuran air mata ini bukan karena hal lain, selain karena kehilanganmu, Nadia.
Bersama kesedihan aku berjalan lunglai. Dunia tak lagi berwarna, karena kamulah warna hidupku Nad. Sekarang warna itu hilang bersama hilangnya dirimu di sisiku.
(20 – 05 – 2009)
Kubuka kembali buku harian keping-keping hatimu Nad. Setiap keping yang kubuka takkan luput dari air mataku. Nad, sejak hari itu, aku mengutuk diriku sendiri, aku masih tak mampu maafkan diriku, Nad. Tapi aku berjanji, aku akan menjadi dokter yang mampu menemukan obat kangker itu. Aku yakin aku bisa, biar saja aku bermimpi, Tuhan akan memeluk mimpi-mimpiku, biar saja aku terus mengagumi dan simpan cerita tentang kita. Nad, kamu telah mengajariku cinta, membuatku berani menatap masa depan yang menantang. Percayalah Nad, walaupun kamu tak disini, hatiku selalu untukmu. Keping-keping hatimu ini, akan kujaga seumur hidupku. Pasti…, Nad!!
Andaikan kau masih ada
Disini mendampingiku
Tak pernah sekejap pun
Kualihkan engkau dari perhatianku.[]